Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Senin, 10 Januari 2011

Kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

Kasus KKN Yang Menghancurkan Jalan Bisnis Dan Politik Di Indonesia Saat Ini

Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Padahal cita–cita didirikannya negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencapai masyarakat adil dan makmur. Salah satu komponen untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah penyelenggaraan negara yang efisien, efektif, dan bersih dan praktek-praktek yang merugikan kepentingan negara dan bangsa. Penyelenggaraan negara dapat terlaksana apabila aparatur negara termasuk aparatur pemerintah di dalamnya dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, profesional, transparan, akuntabel, taat pada aturan hukum, responsif dan proaktif, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dan bukan mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok atau partai yang berkuasa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Kondisi yang dijumpai selama ini, ternyata berbeda dengan harapan. Selama tiga dekade terakhir, telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam penyelenggaraan negara. Akibatnya, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya tidak dapat berfungsi dengan baik, dan partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak dapat berkembang. Akibat lainnya, kegiatan penyelenggaraan negara cenderung mengarah pada praktek-praktek yang lebih menguntungkan kelompok tertentu yang pada akhirnya menyuburkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.

Berbagai praktek yang membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efisien dan efektif dan menyuburkan praktek KKN antara lain: (1) dominasi partai yang berkuasa dalam lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang akhirnya menghambat pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga tersebut; (2) badan-badan peradilan baik organisasi, keuangan, dan sumber daya manusianya berada dibawah lembaga eksekutif, sehingga menghambat penegakan hukum secara adil dan obyektif; (3) moonoloyalitas pegawai negeri dan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) kepada partai yang berkuasa yang pada akhirnya membuat aparatur pemerintah cenderung mendahulukan kepentingan kelompok dari pada kepentingan bangsa dan negara baik dalam pengambilan kebijaksanaan maupun dalam pelaksanaannya; serta (4) terlalu besarnya kewenangan pemerintah pusat dan terlalu kecilnya kewenangan pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri mendorong timbulnya ketidakpuasan dan menghambat partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan di berbagai daerah.

Kurang berfungsinya lembaga-lembaga tersebut di atas, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab meluas dan semakin parahnya krisis moneter dan ekonomi dalam dua tahun terakhir ini yang telah berkembang dan mengakibatkan gejolak sosial dan politik yang ditandai dengan rusaknya tatanan ekonomi dan keuangan, pengangguran yang meluas, serta kemiskinan yang menjurus pada ketidakberdayaan masyarakat dan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah termasuk aparatur pemerintahan di pusat dan daerah. Hal ini tidak saja merugikan negara dan masyarakat secara materi tetapi juga secara sosial dan budaya.


Contoh Kasus

Kasus HM Soeharto (HMS)

Pemerintah telah meneliti tujuh Yayasan yang diketuai oleh HMS, yaitu Yayasan Dharmais, DAKAB, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Gotong Royong, dan Trikora. Hasil penelitian Pemerintah yang telah dilaksanakan terutama mengenai perolehan dan penggunaan dana Yayasan.

Dana yayasan diperoleh dari berbagai sumber seperti setoran para pendiri, sumbangan dari Korpri, ABRI, karyawan perusahaan swasta serta individu lainnya, sumbangan dari perusahaan swasta, BUMN, instansi Pemerintah, sumbangan dari Bank Pemerintah berupa 2,5% dari laba bersih, sumbangan Wajib Pajak yang ditetapkan dengan Keppres No. 90 Tahun 1995 jo Keppres No. 92 Tahun 1996, dana Banpres, dana reboisasi, dan bahkan APBN (tahun 1997/1998).

Anggaran Dasar Yayasan menetapkan bahwa dana Yayasan yang tidak segera dibutuhkan disimpan/dijalankan menurut cara-cara yang ditentukan oleh pengurus dan diperlukan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Ketua Yayasan. Namun dalam penelitian ditemukan bahwa selain digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan tujuan Yayasan, terdapat pengeluaran lain yang menyimpang dari Anggaran Dasar Yayasan. Dana Yayasan dipinjamkan tanpa bunga kepada kelompok Nusamba, dipinjamkan dengan bunga 16% per tahun kepada PT Kiani Kertas dan Kiani Sakti, penyertaan modal Yayasan kepada PT. Sempati, Kelompok Nusamba, Bank Umum Nasional, dan Bank Perkreditan Rakyat, serta disimpan dalam deposito.

Penelitian atas Yayasan yang diketuai oleh HMS menunjukkan adanya Keputusan Presiden dan Peraturan lainnya yang membebani masyarakat dengan berbagai sumbangan. Peraturan tersebut, khususnya Keputusan Presiden No. 90 Tahun 1995 jo Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1996 bertentangan dengan amanat dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan bahwa setiap tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Di samping itu, terdapat indikasi H. M. Soeharto, selaku Ketua Yayasan, tidak mematuhi sepenuhnya Anggaran Dasar Yayasan dalam penggunaan dana-dana Yayasan. Oleh karena ada dugaan penyimpangan tersebut, kasus Yayasan HMS ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Sebagai tindak lanjut penanganan Yayasan HMS, Pemerintah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Menerbitkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1998 yang menghentikan dana-dana yang masuk ke Yayasan dengan mencabut Keppres No. 90 Tahun 1995 dan No. 92 Tahun 1996;
  2. Menerbitkan Instruksi Presiden No. 20 Tahun 1998 yang ditujukan kepada para Menteri, Gubernur/KDH Tingkat I, Kepala LPND, Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/BUMD untuk mencabut semua ketentuan Menteri/Kepala LPND/Gubernur/Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/BUMD yang menjadi dasar perolehan dana bagi semua Yayasan, termasuk Yayasan yang diketuai oleh HMS. Sebagai tindak lanjut Inpres No. 20 Tahun 1998 tersebut, Menteri Keuangan telah mengeluarkan surat No. S.475/MK.01/1998 untuk mencabut fasilitas pembebasan pajak atas bunga deposito dan tabungan kepada 11 Yayasan, yaitu: Yayasan Supersemar, Badan Pengelola Dana ONH, Yayasan DAKAB, Yayasan Amal Abadi Bea Siswa ORBIT, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dharma Tirta, Yayasan Amal Bhakti Ibu, Lembaga GNOTA, Yayasan Dharmais dan Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putra Kostrad;
  3. Melaksanakan audit legal dan finansial terhadap Yayasan yang menerima dana berdasarkan Keppres No. 90 Tahun 1995 dan No. 92 Tahun 1996;
  4. Menagih dan menarik kembali dana Yayasan yang dipinjamkan atau yang digunakan oleh kroni-kroni HMS, yaitu Kelompok Nusamba dan PT Kiani Kertas. Ketua Kelompok Nusamba/Komisaris Utama PT Kiani Sakti/ PT Kiani Lestari/ PT Kiani Kertas tanggal 14 Agustus 1999 menyatakan bersedia membayar pinjaman tersebut beserta bunga yang belum dibayar dalam jangka waktu satu tahun. Menko Bidang Kesra dan Taskin melalui surat No. B-190/Menko/Kesra/VIII/1999 tanggal 20 Agustus 1999 menyatakan bahwa dengan kesediaan tersebut tidak ada lagi dana Yayasan yang dipinjamkan;
  5. Koordinasi pelaksanaan operasional tujuh Yayasan HMS, sejak tanggal 22 November 1998, diserahkan oleh HMS kepada Pemerintah c.q. Menteri Negara Koordinator Bidang Kesra dan Taskin. Penugasan kepada Menko Kesra dan Taskin tersebut dikukuhkan dengan Keputusan Presiden No. 195 Tahun 1998.

Pemerintah telah pula meneliti kebijaksanaan Mobil Nasional (Mobnas) dalam kaitan dengan kemungkinan adanya KKN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa materi Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 telah mengubah dan memperluas pengertian mobil nasional yaitu mobil yang dibuat di luar negeri oleh tenaga kerja Indonesia diperlakukan sama dengan mobil nasional yang dibuat di dalam negeri sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996. Padahal dalam kenyataannya, tenaga kerja Indonesia yang dilaporkan PT Timor Putra Nasional sebagai pembuat mobil nasional di luar negeri (Korea Selatan), sebenarnya hanyalah tenaga kerja magang raja. Juga ditemukan bahwa Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996 dan Keppres No. 42 Tahun 1996 diterbitkan pada tanggal yang sama (yaitu 4 Juni 1996), sehingga diperlukan penyelidikan menurut hukum, untuk mengetahui apakah ada penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Keppres No. 42 Tahun 1996, dan apakah penerbitan Keppres No. 42 Tahun 1996 tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kroni tertentu.

Kasus KKN yang melibatkan kroni merupakan kasus KKN terbanyak dengan nilai terbesar. Penelitian atas KKN yang dilakukan oleh kroni HMS menunjukkan adanya beberapa ketidakwajaran antara lain:

  • Kontrak-kontrak bisnisnya mengandung butir-butir yang sangat menguntungkan kelompok usaha milik kroni tersebut dan merugikan negara;
  • Penguasaan sumber daya alam (hutan dan lahan) yang berlebihan;
  • Peraturan perundangan yang memberikan dukungan khusus kepada kelompok usaha kroni, tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

KKN yang melibatkan kroni terjadi hampir di semua sektor, antara lain kehutanan (penguasaan lahan secara berlebihan dan penggunaan dana reboisasi di luar maksud reboisasi), perkebunan (penguasaan lahan secara berlebihan), pertambangan (kontrak pertambangan dan perdagangan komoditi tambang khususnya batu bara), minyak dan gas bumi (intermediasi dalam impor dan ekspor minyak, pengadaan barang dan jasa, proyek pembangunan), ketenagalistrikan (proyek pembangunan pembangkit listrik, pengadaan barang dan jasa, dan usaha listrik swasta), perhubungan (pengoperasian fasilitas milik PT Garuda Indonesia, keagenan, intermediasi pengadaan pesawat, dan pengelolaan telekomunikasi), pekerjaan umum (kerjasama pembangunan dan pengoperasian jalan tol), perdagangan (pengadaan dan perdagangan beras, gula, jagung, cengkeh, dan aluminium ingot), dan lain-lain (stasiun TV, pengelolaan kawasan tertentu, dll .Penghapusan KKN yang melibatkan kroni dilakukan langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan menggunakan pedoman yang telah ditetapkan Pemerintah.

Tugas 6 - Sosiologi dan Politik

Soal :

Analisa hubungan antara bentuk birokrasi Negara maju dengan Negara berkembang dalam mengatasi kebutuhan masyarakat.

Jawab :

Pelaksanaan birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan berbeda dengan birokrasi di Negara berkembang. Birokrasi yang diterapkan sudah bagus atau belum di Negara maju dan Negara berkembang dapat terlihat dari penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakatnya seperti pengadaan barang dan jasa terutama dalam bidang transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi, dan penyediaan pendidikan gratis.

Di Negara berkembang, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum bisa dikatakan baik karena pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kondisi geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi informasi. Sedangkan di Negara maju bisa dikatakan pelayanan public yang ada sudah baik karena hamper semua faktor tersebut bias teratasi dengan baik.

Pengertian Birokrasi

Birokrasi terdiri dari biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Dari pengertian dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Birokrasi ini bersifat rigid atau kaku.

Perspektif Birokrasi

  1. Teori Negara

Terdiri dari unsure konstitutif dan unsure deklaratif. Unsur konstitutif adalah unsure Negara yang terdiri dari wilayah, pemerintahan, dan rakyat. Sedangkan unsure deklaratif adalah unsure Negara yang terdiri dari pengakuan de facto dan de jure.

2. Teori Kebutuhan ekonomi

Usaha manusia memenuhi kebutuhan yang diperlukan birokrasi yang berfungsi untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut.

3. Teori Organisasi dan Kelas

Tujuan dalam organisasi dapat dicapai apabila ada instrumen birokrasi yang baik.

Fungsi dan Peran Birokrasi

  1. Melaksanakan pelayanan publik
  2. Pelaksana pembangunan yang profesional
  3. Perencana, pelaksana, dan pengawas kebijakan.
  4. Alat pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat dan bukan merupakan bagian dari kekuatan politik (netral)

Tujuan Birokrasi

  1. Sejalan dengan tujuan pemerintahan
  2. Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan negara
  3. Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan professional
  4. Menjalankan mamajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi, koordinasi, sinkronisasi, represif, prefentif, antisipatif, resolusi, dll.

Tipologi Birokrasi

1. Berdasarkan perspektif Otoriter

  • Birokrasi Tradisional : Sumber legitimasinya adalah waktu, artinya orang yang berkuasa adalah orang-orang yang lebih lama di dalam birokrasi tersebut.
  • Birokrasi Kharismatik : Sumber legitimasinya adalah kepribadian yang luar biasa bagi seorang pemimpin yang dilihat secara personal
  • Birokrasi Legal-Rasional : Sumber legitimasinya adalah aturan-aturan yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Berdasarkan Perspektif Keterbukaan

  • Birokrasi Terbuka : Aksesibilitas masyarakat dapat masuk dengan luas, masyarakat dapat ikut serta dalam proses pembuatan kebijakan dan masyarakat juga dapat menyampaikan aspirasinya ke birokrasi langsung.
  • Birokrasi Tertutup : Berdasarkan kepentingan dan peraturan yang berada dalam birokrasi tersebut, kebijakan yang diputuskan hanya dilakukan dalam birokrasi dan berjalan hanya berdasarkan aturan-aturan yang didalamnya.
  • Birokrasi Campuran : Birokrasi yang mendapatkan aspirasi dari masyarakat tapi tidak bisa masuk secara langsung ke dalam birokrasi untuk menentukan kebijakan.

Contoh Negara Maju (Jepang) dan Negara Berkembang (Indonesia)


Negara Berkembang (Indonesia)

Birokrasi Indonesia Secara Umum

Di negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang di idealkan oleh Max Weber nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu Negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis “birokrasi kerajaan” yang feudal-aristokratik. Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern,yang terjadi hanyalah bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana yang diteapkan di Indonesia lebih mendekati pengertian Weber mengenai “dominasi patrimonial”, dimana jabatan dan perilaku di dalam hirarki lebih di dasarkan pada hubungan pribadi.

Penampilan Birokrasi Pemerintah Indonesia

Tidak mudah mengindentifikasi penampilan birokrasi Indonesia. Namun perlu dikemukakan lagi, bahwa organisasi pada prinsipnya berintikan rasionalitas dengan kriteria-kriteria umum, seperti efektivitas, efisiensi, dan pelayanan yang sama kepada masyarakat. Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di Indonesia, antara lain:

1. Sentralisasi yang cukup kuat

Sentralisasi sebenarnya merupakan salah satu cirri umum yang melekat pada birokrasi yang rasional. Di Indonesia, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat merupakan salah satu aspek yang menonjol dalam penampilan birokrasi pemerintah. Hal ini disebabkan karena birokrasi pemerintah bekerja dan berkembang dalam lingkungan yang kondusifterhadap hidup dan berkembangya nilai-nilai sentralistik tersebut.

2. Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi

Sama seperti sentralisasi, keseragaman dalam struktur juga merupakan salah satu cirri umum yang sering melekat pada setiap organisasi birokrasi. Di Indonesia, keseragaman atau kesamaan bentuk susunan, jumlah unit, dan nama tiap unit birokrasi demikian menonjol dalam stuktur birokrasi pemerintah.

3. Pendelegasian wewenang yang kabur

Dalam birokrasi Indonesia, nampaknya pendelegasian wewenang masih menjadi masalah. Meskipun struktur birokrasi pada pemerintah Indonesia sudah hirarkis, dalam praktek perincian wewenang menurut jenjang sangat sulit dilaksanankan. Dalam kenyataanya, segala keputusan sangat bergantung pada pimpinan tertinggi dalam birokrasi. Sementara hubungan antar jenjang dalam birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.

4. Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan

Meskipun perumusan uraian tugas dalam birokrasi merupakan kebutuhan yang sangat nyata, jarang sekali birokrasi kita memilikinya secara lengkap. Kalaupun adasering tidak dijalankan secara konsisten. Di samping hambatan yang berkaitan dengan keterampilan teknis dalam penyusunannya, hambatan yang dirasakan adalah adanya keengganan merumuskannya dengan tuntas. Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di Indonesia adalah kesulitan dalam merumuskan jabatan fungsional. Secara mendasar, jabatan fungsional akan berkembang dengan baik jika di dukung oleh rumusan tugas yang jelas serta spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan yang telah dirumuskan secara jelaas pula. Selain itu, masih banyak lagi aspek-aspek lain yang menonjol dalam birokrasi di Indonesia, diantaranya adalah perimbangan dalam pembagian penghasilan, yaitu selisih yang amat besar antara penghasilan pegawai pada jenjang tertinggi dan terendah.

Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi pemerintah Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan hubungan yang bersifat pribadi. Hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia, karena dengan adanya hubungan pribadi dengan para key person banyak persoalan yang sulit menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di negara kita belum baik dan masih banyak yang perlu diperbaiki.

Kelemahan Birokrasi Di Indonesia

Keluhan tentang birokrasi Indonesia umumnya bermuara pada penilaian bahwa birokrasi di Indonesia tidak netral. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri, apalagi melihat praktek sehari-hari dimana birokrasi terkait dengan lembaga lainnya. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak mungkin dipandang sebagai lembaga yang berdiri sendiri, terlepas dari lembaga-lembaga lainnya.

Dalam prakteknya, muncul kesan yang menunjukkan seakan-akan para pejabat dibiarkan menggunakan kedudukannya di birokrasi untuk kepentingan diri dan kelompok. Ini dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek birokrasi yang tidak efisien dan bertele-tele.

Negara Maju (Jepang)

Kondisi Birokrasi di Jepang

Jepang merupakan salah satu Negara di Asia yang telah memenuhi karakteristik Negara maju baik secara politik maupun secara ekonomi serta aspek-aspek lainnya yang terkait. Sebagai representasi Negara demokrasi, Jepang memiliki karakter khas demokrasi yang “tidak normal” karena dalam proses politik yang berkembang jarang mendapatkan perhatian dari masyarakat umum dan sorotan dari berbagai media yang ada. Oleh karena itu, di Jepang jarang sekali terjadi aksi demo massa dan aksi anarkis karena proses politik yang cenderung jarang di ekspos. Hal ini cenderung berbeda dengan Negara demokrasi pada umumnya, isu public yang penting akan dibahas secara intensif oleh berbagai media. Selanjutnya, suatu keputusan kebijakan dibuat melalui proses yang panjang dan menghabiskan waktu yang lama termasuk proses dalam konsultasi dan negosiasi dalam di antara agen-agen pemerintahdengan kelompok kepentingan yang terkait.

Suatu keputusan kebijakan di Jepang dibuat dalam konteks otoritas birokrasi. Draft kebijakan dasar telah dikompromisasikan melalui proses negosiasi dengan kementrian terkait, politisi partai yang berpengaruh, anggota diet serta kepentingan-kepentingan pihak lain di luar pemeritah yang memiliki akses terhadap kebijakan tersebut sebelum selanjutnya proposal kebijakan tersebut disampaikan ke Diet.

Dalam prakteknya, power dari birokrasi jepang juga cukup kuat. Kekuatan birokrasi tampak pada proporsi dimana terdap[at kelemahan dalam partai dan lembaga legislative. Netralitas birokrsi Jepang dapat tetap terjaga dan terbangun kekuatan organisasi walaupun terjadi pergantian cabinet sehingga birokrasi dapat mendukung stabilitas politik. Kekuatan birokrasi Jepang merupakan produk dari gaya politik dan tradisi yang telah berjalan lama dan panjang. Dilihat sebagai sebuah institusi, birokrasi tidak terlalu terpengaruh dampak perang dunia II dan pada masa okupasi amerika.

Karakteristik birokrasi Jepang yang menarik dan unik adalah adanya birokrat pemerintah nasional uyang dapat “dipinjamkan” kepada pemerintah local yang dapat memebri kesempatan untuk saling bertikar pengalaman dan menjaga hubungan antara dua level pemerintah ini. Dalam hal perekrutan pegawai negeri sipil, perekrutan dalam institusi pelayanan pemerintah berdasarkan system ujian kompetitif atau dengan evalyuasi personal. Dalam kepegawaian, PNS jepang menempati posisi professional dan kelompok elit biasanya merupakan lulusan dari institusi pendidikan terbaik di Jepang yaitu biasanya dari Universitas Tokyo dan Universitas Kyoto. Basis rekruitman ini membuat kecenderungan adanya parokialisme dan hubungan “old boy” antara birokrat. Level administrative paling atas didominasi oleh laki-laki dengan spesialisasi pendidikan jurusan hokum.

Di Jepang, pekerjaan sebagai pegawai dalam kementrian pemerintah memiliki status yang tinggi. Di antara kememtrian yang ada pun terdapat derajat prestis dimana MITI (Ministry of International Trade and Industry) dan MoF) Ministry of Finance) menduduki posisi tertinggi.dalam birokrasi pula, factor yang palinh signifikan dalam proses promosi adalah latar belakang universitas. Koneksi interpersonal penting untuk rotasi pegawai dalam birokrasi, bisnis dan politik atau disebut dengan “revolving door”. Di AS, praktek seperti ini diproses dan dikritik karena pegawai yang telah pemerintah yang telah pensiun, pegawai militer melanjutkan karirnya di perusahaan swasta melalui koneksi konkret. Namun sebaliknya, di Jepang, hal ini merupakan suatu yang normal dalam kehidupan administrative, yang sering diistilahkan sebagai amakudari/ descent from heaven. Pensiunan PNS dapat bergabung di perusahaan swasta atau perusahaan milik Negara (special legal entities). Ada pula yang bergabung di partai, terutama LDP yang mambuka kesempatan untuk terpilih sebagai anggota konstituen di national house of councilor yang merupakan modal dasar sebagai pengalaman organisasional.

Walaupun menimbulkan pro dan kontra, praktek amakudari berkontribusi efektif bagi jalannya proses politik karena terdapat kontrak personal yang lebih ekstensif pada saat negosiasi dan consensus yang dapat membuat proses pembuatan keputusan lebih efektif.


Analisis Perbandingan Pelaksanaan Pelayanan Publik dalam Bidang Transportasi Antara Negara Indonesia dan Negara Jepang

Salah satu fungsi utama dari suatu birokrasi adalah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam tugas ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai pelayanan publik yang terdapat di Indonesia dan di Jepang. Dan untuk lebih mendalam lagi, kami akan mengambil contohnya di dalam bidang pelayanan transportasi di kedua negara tersebut.

Di Indonesia, pelayanan publik selama ini masih dinilai masyarakat sangat mahal dan bertele-tele, karena dalam memberikan pelayanan publik, birokrasi di Indonesia dibuat menjadi lebih sulit. Bahkan, dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia terkadang disalahgunakan oleh para birokrat, sebagian dari mereka menjadikan pelayanan publik sebagai sumber pendapatannya dengan meminta bayaran kepada masyarakat yang ingin urusannya di pemerintahan dapat di urus dengan cepat.

Kondisi diatas, tidak akan dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyat justru mempersulit rakyat. UUD 1945 mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat yaitu membangun kesejahteraan negara dan tanggung jawab pemerintah memenuhi kebutuhan warga negaranya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pelayanan publik di kantor pemerintahan di Indonesia masih terbilang buruk.

Dalam pelayanan publik yang sering menjadi keluhan dan sering menjadi perbincangan salah satunya adalah transportasi yang meramaikan jalan di Indonesia. Kami menyoroti bidang ini karena banyaknya permasalahan yang timbul di dalamya. Bila dibandingkan dengan negara Jepang, harus kita akui, bahwa dunia transportasi kita masih perlu penataan lanjutan. Bukan hanya soal ketersediaan, kelayakan dan bahkan kualitas sarana dan pra sarana transportasi, tetapi juga menyangkut mutu layanan kepada konsumen. Fakta keterbatasan sarana dan prasarana transportasi kita, sangat jelas terpampang, oleh karena itu perbaikan pelayanan yang dilakukan secara bertahap menjadi tepat. Sehingga dapat dikatakan apabila kondisi transportasi di Indonesia sebuah mimpi buruk bagi para penggunanya. Bagaimana tidak, tidak ada satupun transportasi di Indonesia yang dapat memberikan jaminan keamanan, kenyamanan dan ketepatan waktu tempuh. Padahal, Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar yang dipisahkan oleh laut membutuhkan setidaknya optimalisasi di setiap transportasi untuk menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya dan juga mendorong kegiatan produksi yang dapat menggenjot perekonomian Indonesia.

Salah satu transportasi yang memiliki peranan penting adalah transportasi darat, karena bagaimanapun, transportasi darat merupakan transportasi yang digunakan oleh sebagian masyarakat dalam mencari penghidupannya. Adapun salah satu contoh dari transportasi ini adalah kereta api dan angkutan darat. Kita ambil salah satu contohnya kereta rel listrik (KRL). Bila di bandingkan dengan kereta yang ada di Jepang, jangan bayangkan sebuah kondisi yang nyaman, aman dan tepat waktu dari KRL, karena kondisi KRL itu sendiri kerap kali mengalami banyak gangguan semacam gangguan sinyal, korsleting, rel patah, mogok dan sebagaimananya.

Salah satu contoh, KRL express yang menjadi sarana transportasi darat yang memudahkan kaum penglaju di kota-kota satelit semacam Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kondisi KRL Ekspres bisa menjadi alternatif solusi yang memudahkan kaum penglaju untuk sampai tepat waktu. Hanya saja, keterbatasan transportasi ini adalah terbatasnya akses penggunaan di jam-jam kantor dan secara ekonomis tidak terakses oleh masyarakat kelas bawah karena harga tiket sekali jalan yang cukup tinggi hanya bisa dijangkau para pekerja kelas menengah. Suatu gambaran ironis, bagaimana kenyamanan itu hanya bisa diakses bagi the have bukan the have not. Walaupun demikian kondisi KRL Express itu sendiri juga tidak luput dari kondisi yang tidak menentu yang disebabkan kurangnya manajemen dan pemeliharaan terhadap transportasi itu sendiri, sehingga kenyamanan itu juga tidak diiringi dengan tidak terjaminnya ketepatan waktu.

Sedangkan nasib masyarakat kelas bawah yang tidak sanggup membeli karcis kereta express harus rela menaiki kereta yang sangat penuh dengan kondisi yang menyedihkan. Namun karena keterbatasan dana dan keterbatasan pelayanan publik yang ada, membuat mereka tetap memilih KRL Ekonomi yang kondisinya telah tidak layak guna tetap menjadi pilihan mereka. Kereta api kelas ekonomi masih kurang memadai karena banyak masyarakat yang naik ke atap kereta api agar tetap bisa menggunakan kereta api sebagai transportasi umum. Padahal sudah jelas, hal itu sangat membahayakan keselamatan para penumpang. Mereka nekat melakukan ini karena harga karcis untuk kereta kelas ekonomi sangat murah dibandingkan dengan kereta jenis lain dan angkutan umum lain seperti bus.

Sebuah ironi tersendiri manakala kondisi KRL itu sendiri menghadapi dilema dalam hal pemeliharaan dan peremajaan. Hal ini berdampak pada lemahnya kemampuan transportasi ini menyokong kegiatan perekonomian kaum penglaju jika terjadi gangguan-gangguan teknis semacam kerusakan sinyal, rel patah, mogok, dll. Bila dibandingkan dengan kondisi di Jepang sungguh kondisi ini memprihatinkan, dimana kerugian ekonomi terjadi akibat manajemen yang tidak cermat dan kurangnya pemeliharaan moda transportasi yang mengganggu kegiatan proses produksi suatu perekonomian.

Oleh karena itu, Pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih besar lagi sehingga transportasi darat harus berada dalam posisi performansi yang baik secara sarana dan prasarananya, apakah itu jalan rel, gerbong, kereta, stasiun, jalan raya, bus, dll. Permasalahannya adalah bagaimana memelihara hal tersebut. Di satu sisi, suatu transportasi akan dipilih oleh penggunanya apabila sesuai dengan kemampuannya dari segi ekonomi, keluasan jangkauan, segi kenyamanan dan lain-lain. Seharusnya pemerintah mendekatkan antara realitas pengguna jasa transportasi dengan kondisi transportasi yang ideal tersebut. Pemerintah memiliki peran penting untuk menjembatani hal tersebut. Satu pekerjaan besar yang menuntut dedikasi dan kerja keras pemerintah untuk mewujudkan tercapainya kondisi tersebut agar mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada seluruh masyarakat khususnya di bidang transportasi

Di Jepang, Pelayanan publik di dirasakan oleh masyarakatnya telah pada tahap memuaskan masyarakatnya. Pelayanan publik yang ada baik di bidang pelayanan secara lansung kepada masyarakat (direct service) ataupun dalam peran birokrasi dalam penyelenggaran pemerintahan (indirect service) telah berjalan secara efektif dan efisien. Kualitas yang prima pelayanan publik di Negara Jepang dipengaruhi oleh beberapa factor baik secara internal maupun eksternal birokrasi dalam system pelayanan publik. Faktor- Faktor tersebut antara lain :

1. Sumber daya Manusia yang berkualitas

Aparatur Negara sebagai pelaksana pelayanan public di Negara Jepang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik. Proses penyeleksian untuk menjadi aparat Negara dilakukan melalui penyeleksian yang memiliki standar dan sistem evaluasi. Selain itu, profesi aparat pemerintah dalam pandangan masyarakat Jepang memiliki prestise yang tinggi sehingga banyak dari lulusan universitas-universitas terkenal di Jepang terutama Universitas Tokyo dan Universitas Kyoto memililh untuk mengikuti seleksi tersebut untuk menjadi aparat pemerintah. Selain itu, sebagian masyarakat Jepang telah menyadari secara menyeluruh perannya sebagai abdi Negara untuk memberikan kualitas terbaik dalam pelayanannya kepada masyarakat. Kondisi ini telah terjadi secara lama dan membudaya dalam masyarakat Jepang.

2. Adanya peraturan yang jelas untuk mengatur pelaksanaan pelayanan publik

Proses pembuatan keputusan kebijakan dalam pemerintahan Jepang dilakukan melalui Dalam penerapan kebijakan tersebut, aparat pemerintah memiliki kesadaraan penuh untuk menerapkannya. Selain itu pada tahap pengawasannya dilakukan secara ketat dan tegas terhadap aparat yang melanggar kebijakan tersebut.

Jepang terkenal dengan pelayanan transportasi yang baik dan memuaskan. Salah satu bagian transportasi yang baik tersebut ada pada transportasi darat. Dalam kesehariannya, sebagian besar masyarakat Jepang menggunakan kereta api baik monorel maupun subway. Kereta api yang digunakan masyarakat Jepang tersebut secara keseluruhan telah memberikan kualitas terbaik dalam pelayanannya. Hal ini dapat dilihat baik dari segi infrastruktur kereta tersebut maupun sistem administratif pelayanan kereta api.

Dari segi infrastruktur, kereta-kereta di Jepang memiliki infrastruktur yang lengkap dan memuaskan seperti kereta api yang memiliki AC, dan lain-lain. Dari sisi infrastruktur lainnya Jepang juga mamiliki keunggulan dengan merevitalisasi tampilan kereta api dengan menambahkan figure-figur anime menyerupai pegawai wanita dari Sanriku. Sedangkan dari segi, sistem administratifnya, Jepang memiliki keunggulan dalam hal pengaturan jadwal kereta yang selalu tepat waktu. Kereta dan shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi model transportasi di Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta atau shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2.

DAFTAR PUSTAKA

Sabtu, 08 Januari 2011

Tugas 5 - Sosiologi dan Politik

Soal :

Struktur politik :

a. Kelompok Elit

b. Kelompok kepentingan

c. Kelompok birokrasi

d. masa

Jawab :

a. Kelompok Elite

Banyak teori yang dibuat oleh para ahli yang berhubungan dengan elite politik Klasifikasi elite menurut mosca ada dua:

ü Elite politik yang memerintah yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pemerintahan.

ü Elite yang tidak memerintah yang merupakan sisa yang besar dari seluruh elite.

Kedua elite tersebut masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda dalam usaha mereka menguasai dan mempengaruhi massa.

Dari banyaknya klasifikasi elite yang dibuat para ahli, ada beberapa tipe yang ideal mengenai elite politik. Tipologi ideal elite tersebut adalah sebagai berikut:

o Elite dinastik adalah mereka yang bersala dari golongan aristokrasi, pedagang dan pemilik tanah. Tipe elite ini memberi kepemimpinan yang tertutup sifatnya, dengan keanggotaanya yang umumnya berasal dari anggota keluarga, sehingga dalam menyampaikan pesan (berkomunikasi) dengan khalayak terkesan ditutupi tidak terbuka sehingga kebijakan yang dibuat tidak diketahui secara jelas oleh khalayak hanya pada tatanan keluarga saja.

o Elite kelas Menengah. Kelompok ini merupaka elit baru yang ternyata dalam kemajuan hidupnya berdampingan dengan elite lama.Mereka berasal dari kelompok pedagang dan pengusaha.

o Intelektual revolusioner. Merupakan kelompok baru yang muncul mengambil alih kepemimpinan nasional dan menyingkirkan elit lama dan mungkin juga budaya lama yang bersifat kolononial. Ideologi menekankan gagasan panggilan historis dan peran serta memiliki dedikasi tugas yang tinggi.

o Administrator Kolonial. Elite ini mewakili dan bertanggung jawab kepada negara penjajah. Kepemimpinan mereka lebih menghandalkan kekuatan fisik dan ancaman daripada bujukan dan kompromi.

o Elite Nasionalistik. Bagi elite nasionalis dinegara berkembang, nasionalisme masih merupakan sentimen daripada sistem pemikiran yang dijabarkan.


b. Kelompok Kepentingan

Anomik, Asosiasional, Nonasosional Mahasiswa dan Angkatan Muda Melihat sejarah politik Indonesia, lebih-lebih sejarah pergerakkan kemerdekaan, tak dapat di sangkal lagi bahwa gerakan angkatan muda pada ”era”nya selalu dilandasi idealisme. Oleh karena itu angkatan muda sebagai salah satu pengelompokan umur, khususnya mahasiswa, relatif mempunyai kematangan umur dan bekal pengetahuan, selalu merupakan kekuatan moral dalam saat kritis,sehingga dapat pula disebut sebagai golongan kepentingan anomik (anomic interest group). Karena landasannya kekuatan mmoral, kekuatan lainnya sering terpanggil dan terlibat atau melibatkan diri untuk bersama-sama memanifestasikan sikapnya dalam menghadapi berbagai masalah; maka dengan demikian terjadilah integrasi antarkekuatan.


c. Kelompok Birokrasi

Dengan mendefinisikan secara lebih sempit, Crouch, mencatat bahwa bureaucratic-polity (masyarakat politik birokrati) di Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu : pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontol kekuatan birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi .
Kecenderungan yang makin menguatnya peranan birokrasi, nampak dalam proses pengambilan keputusan, birokrasi tidak banyak melibatkan kekuatan sosial politik, dan lebih banyak bertumpu pada teknokrat. Selama ini pandangan teknokrat amat menentukan didalam meletakkan arah pembangunan ekonomi yang menekankan stabilitas, anggaran berimbang, peletakan jaringan pasar dan infra struktur, politik investasi terbuka dan sebagainya. Sementara penetrasi birokrasi didalam kehidupan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan cultural, semakin meningkat Kondisi seperti ini akan membawa akibat segala kebijaksanaan lebih banyak ditentukan oleh birokrat dengan keputusan-keputusan yang amat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan teknokratis yang non politis. Fenomena seperti ini oleh Jackson, disebut bureaucratic polity yang tercermin dalam besarnya kekuasaan birokrasi vis-avis lembaga-lembaga perwakilan dan infra struktur, politik seperti partai politik dan ormas. Akibatnya biaya politik (polical cost) yang harus dibayar karena timbulnya kepolitikan yang tidak berimbang (unbalanced polity), lemahnya control sosial, berhimpitnya struktur ekonomi dengan struktur politik, kaburnya batas penguasa dengan penguasa, dan sebagainya.


d. Massa

Media massa dianggap memiliki peranan yang unik dalam pembangunan politik, karena memiliki suatu instrumen teknologi yang independen, yang produknya dapat menjangkau ke tengah-tengah masyarakat dalam jumlah yang besar (Gerbner dalam McQail, 1987). Di samping itu, media massa menganggap diri sebagai perantara yang independen antara pemerintah dengan publik. Sebagian informasi, khususnya yang disampaikan oleh media massa akan melintasi garis-garis batas geografis dan kelas sosial. Namun dua karakteristik perubahan attitude akan membatasi dampak media tersebut. Yang pertama adalah interpretasi informasi melalui media massa tentunya akan dilakukan oleh para pemimpin opini. Pemimpin opini itu sendiri akan amat dipengaruhi oleh hubungan antar personanya (jaringan sosialnya), yang menurut penelitian selama ini menunjukkan hasil yang konsisten, bahwa pengaruhnya lebih kuat dalam hal persuasi ketimbang media massa. Yang kedua, sekalipun secara persis masih diperdebatkan, tapi dalam banyak hal media massa diakui sebagai saluran yang berkemampuan untuk menyampaikan lebih dari sekedar informasi politik. Artinya, media massa dapat dibuktikan mempunyai efek politik dalam suatu kelangsungan sistem politik suatu masyarakat. Kekuatan media, dalam kaitan ini, menurut Gurevitch dan Blumler (dalam Nasution, 1990) bersumber dalam tiga hal, yaitu struktural, psikologis, dan bersifat normatif. Akar struktural kekuatan media massa bersumber pada kemampuannya yang unik untuk menyediakan khalayak bagi para politisi yang ukuran dan komposisinya tidak akan diperoleh para politisi dimaksud melalui alat yang lain. Sedangkan akar psikologis dari kekuatan media bersumber pada hubungan kepercayaan dan keyakinan yang berhasil diperoleh (meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda) oleh organisasi media dari anggota khalayaknya masing-masing. Ikatan saling percaya ini tumbuh berdasarkan pada pemenuhan harapan khalayak selama ini dan validasi dari hubungan percaya mempercayai dimasa lampau antara media yang bersangkutan dengan khalayaknya.